Senin, 11 April 2016

Tugas II Psikoterapi

Terapi Humanistik Eksistensial

1. Konsep dasar pandangan Rollo may tentang perilaku atau kepribadian
Apakah eksistensialisme? Pertama, eksistensi ada sebeum esensi. Eksistensi berarti ada untuk muncul atau untuk menjadi, esensi mengimplikasikan substansi yang statis dan tidak dapat diubah. Eksistensi menggambarkan suatu proses, esensi merujuk pada produk. Eksistensi diasosikan dengan pertumbuhan dan perubahan; esensi mementingkan stagnasi dan sesuatu yang final. Para eksistensialis menegaskan esensi dari manusia adalah kekuatan mereka untuk secara berkesinambungan terus mendefinisikan diri mereka melalui pilihan yang mereka buat. Kedua, eksistensialisme menentang pemisahan antara subjek dan objek. Menurut Kierkegaard, manusia lebih sekadar bagian kecil mesin masyarakat industri, tetapi mereka juga bukan hanya makhluk berpikiran subjektif yang hidup dengan pasif melalui spekulasi dari seorang pengamat. Manusia adalah subjektif dan objektif, serta harus mencari kebenaran dengan hidup dalam kehidupan yang aktif dan autentik. Ketiga, manusia mencari arti kehidupan mereka. keempat, manusia bertanggung jawab atas siapa dirinya dan akan menjadi apa. kita tidak dapat menyalahkan orang tua, guru, majikan, tuhan atau keadaan. Walaupun kita dapat mengasosiasikan diri dengan orang lain dalam hubungan yang produktif dan sehat, tetapi pada akhirnya, masing-masing dari kita tetap sendiri. kelima, para eksistensiali pada dasarnya antiteoretis. Bagi mereka, teori mendehumanisasi manusia lebih jauh dan membuat mereka sebagai objek. Pengalaman autentik lebih diutamakan daripada penjelasan yang dibuat-buat. Saat pengalaman dibentuk menjadi model teori yang sudah ada sebelumnya, mereka akan kehilangan keasliannya dan jadi terpisah dari individu yang mengalaminya (Feist, 2010).
Mengenai pandangan Rollo May atas kemanusiaan, kita berhenti sejenak untuk melihat pada dua konsep dasar dari eksistensialisme, yaitu being-in-the-world dan nonbeing.
Being-in-the-world: Para eksistensialis mengadopsi pendekatan fenomenologis dalam mencoba untuk memahami kemanusiaan. Bagi mereka, kita hadir di dunia yang dapat dimengerti dengan baik dari sudut pandang kita sendiri. Saat ilmuwan mempelajari manusia melalui kerangka rujukan eksternal, mereka melanggar dunia eksistensial seserang maupun subjeknya. Persatuan dasar dari manusia dan lingkungannya diekspresikan dengan sebuah kata dalam bahasa jerman, Dasein, yang berarti untuk hadir disana. Oleh karena itu, Dasein secara harfiah berarti untuk eksis di dunia dan umumnya ditulis sebagai being-in-the-world. Tanda hubung dalam istilah tersebut digunakan untuk mengimplikasikan kesatuan daru subjek dan objek, dari manusia dan dunia (Feist, 2010).
Nonbeing: being-in-the-world  membutuhkan sebuah kesadaran atas diri sebagai makhluk yang hidup dan berkembang. Kesadaran ini kemudian dapar juga berakibat pada ketakutan akan ketiadaan, yaitu nonbeing atau kehampaan. Kematian bukan satu-satunya bentuk nonbeing , tetapi hal tersebut merupakan yang paling jelas. Hidup menjadi lebih hidup, lebih bermakna saat kita menghadapi kemungkinan kematian kita. Selama hampir 40 tahun sebelum waktu kematiannya , May berbicara tentang kematian sebagai "satu fakta dalam hidup saya yang tidak relatif, tetapi absolut, serta kesadaran saya atas hal ini memberikan saya suatu eksistensi dan apa yang saya lakukan setiap jam menjadi kualitas yang absolut. Saat kita tidak dengan berani menghadapi nonbeing  kita dengan mengontemplasikan kematian. Kita tetap saja akan menghadapi nonbeing dalam bentuk lain, termasuk kecanduan terhadap alkohol dan obat-obatan lain, aktivitas seksual yang bebas, serta perilaku kompulsif lainnya. Nonbeing  kita juga dapat diekspresikan sebagai konformitas buta terhadap ekspektasi masyarakat atau sikap bermusuhan yang akan merusak hubungan kita dengan orang lain. Ketakutan atas kematian atau nonbeing, sering memprovokasi kita untuk hidup secara defensif dan menerima lebih sedikit dari kehidupan daripada apa yang kita dapatkan, apabila kita mengonfrontasikan masalah ketiadaan (nonexixtence) kita (Feist, 2010).

2. Unsur-unsur terapi
a. Hambatan pada kesehatan psikologis: Banyak orang menderita kecemasan atau kesedihan yang disebabkan oleh alienasi dari diri mereka atau diri mereka. Selain itu, mereka juga tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai diri mereka atau merasa terisolasi dari dunia yang terasa berjarak dan asing. Mereka tidak mempunyai rasa Dasein, tidak ada kesatuan antara diri dan dunia. Saat manusia berjuang untuk mendapatkan kekuasaan dibanding mementingkan alam, mereka mulai kehilangan kontak atas hubungan mereka dengan kehidupan alam. Saat mereka mulai bergantung pada produk-produk dari revolusi industri, mereka menjadi semakin teralienasi dari bintang-bintang, tanah, dan laut (Feist, 2010)
B. Tujuan terapi: Tidak sepeti Freud, Adler, Rogers, dan pakar teori kepribadian yang berorientasi klinis, May tidak membangun aliran psikoterapi dengan pengikut yang kuat dan teknik yang dapat dibedakan. Ia menyarankan bahwa psikoterapi seharusnya membuat manusia menjadi lebih manusiawi: Membantu mereka memperluas kesadaran mereka supaya mereka akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk dapat membuat keputusan. Pilihan-pilihan ini kemudian akan membawa mereka pada pertumbuhan yang terjadi bersamaan atas kebebasan dan rasa tanggung jawab (Feist, 2010).
C. Peran terapis: Tugas terapis eksistensialis adalah untuk menjadi pengarah, teman, dan penerjemah bagi orang-orang dalam perjalanan mereka melalui neraka-neraka privat mereka dan tempat mensucikan diri. Secara spesifik, tugas terapis adalah menolong pasien untuk dapat mencapai titik dimana mereka dapat memutuskan apakah mereka ingin tetap menjadi korban...atau apakah mereka memilih untuk meninggalkan kondisi-korban ini serta menjelajahi tempat mensucikan diri dengan harapan untuk mendapatkan sedikit rasa surga (Feist, 2010).

3. Teknik-teknik terapi
May tidak banyak menawarkan arahan-arahan spesifik untuk diikuti. Terapis eksistensial tidak mempunyai  satu set teknik atau metode khusus yang dapat diaplikasikan kepada semua pasien. Malahan, mereka hanya mempunyai diri mereka dan kemanusiaan mereka untuk ditawarkan. Mereka harus membangun hubungan satu lawan-satu (Mitwelt) yang membuat pasien mampu untuk lebih sadar akan dirinya dan hidup sepenuhnya dalam diri mereka sendiri (Eigenwelt) Pendekatan ini dapat berarti menantang pasien untuk menghadapi takdirnya; untuk merasakan kesedihan, kecemasan, dan rasa bersalah. Akan tetapi, hal tersebut juga berarti membangun pertemuan "saya-anda" (i-thou), yaitu ketika terapis maupun pasien dipandang sebagai subjek dan bukan objek. Di dalam hubungan "saya-anda", terapis memiliki empati atas pengalaman pasien dan terbuka atas dunia subjektif dari pasien. May juga mendeskripsikan terapi adalah sebagian agama, sebagian ilmu pengetahuan, dan sebagian hubungan pertemanan. Akan tetapi, hubungan pertemanan di sini bukanlah suatu hubungan sosial yang biasa, melainkan menuntut terapis untuk menjadi sangat terbuka dan tidak berbasa-basi serta untuk menantang pasien. May yakin bahwa hubungan itu sendiri bersifat terapeutik dan dampak perubahannya tidak berkaitan dengan apa pun yang dikatakan oleh terapis ataupun orientasi teoretisnyang mungkin mereka punya (Feist, 2010). 

1. Konsep dasar pandangan Carl Rogers tentang perilaku atau kepribadian
asumsi-asumsi dasar dari teori yang berpusat pada pribadi, Rogers mengajukan dua asumsi umum, yaitu kecenderungan formatif dan kecenderungan aktualisasi.
Kecenderungan Formatif : Rogers yakin bahwa terdapat kecenderungan dari setiap hal, baik organik maupun non-organik, untuk berevolusi dari bentuk yang sederhana menjadi bentuk yang lebih kompleks. Untuk alam semesta, terjadi sebuah proses kreatif, dan bukan proses disintegrasi. Rogers menyebut proses ini sebagai kecenderungan formatif dan banyak mengambil contoh-contoh dari alam. Sebagai contoh, galaxi bintang yang kompleks terbentuk dari massa yang kurang terorganisasi dengan baik; Kristal seperti bunga es muncul dari uap yang tidak berbentuk; Organisme kompleks berkembang dari sebuah sel; dan kesadaran manusia merupakan evolusi dari ketidaksadaran primitif menjadi kesadaran yang sangat teratur (Feist, 2010).
Kecenderungan aktualisasi : Asumsi yang saling berkaitan dan relevan adalah kecenderungan aktualisasi, atau kecenderungan setiap manusia (selain hewan dan tanaman) untuk bergerak menuju keutuhan atau pemuasan dari potensi. Kecenderungan ini merupakan satu-satunya motif yang dimiliki oleh manusia. Oleh karena itu setiap manusia beroperasi sebagai satu organisme yang utuh, aktualisasi meliputi keseluruhan bagian manusia-fisiologis dan intelektual, rasional dan emosional, kesadaran dan ketidaksadaran.
Kebutuhan untuk menjadi lebih baik, untuk berkembang, dan untuk meraih perubahan disebut sebagai peningkatan diri.
Kebutuhan meningkatkan diri diekspresikan dalam bentuk yang beragam , termasuk rasa peasaran, keriangan, eksplorasi diri, pertemanan, dan kepercayaan diri bahwa seseorang dapat meraih pertumbuhan psikologis. Dalam dirinya, manusia memiliki kekuatan kreatif untuk menyelesaikan masalah, mengubah konsep diri mereka, dan menjadi lebih terarah. Individu mempersepsikan pengalaman mereka sebagai suatu realita, dan mengetahui bahwa realita mereka lebih baik daripada siapa pun. Mereka tidak perlu diarahkan, dikontrol, dinasihati, atau dimanipulasi untuk mendorong mereka menuju aktualisasi (Feist, 2010).

2. Unsur-Unsur Terapi
a. Hambatan pada Kesehatan Psikologis: Tidak semua manusia menjadi manusia yang sehat secara psikologis. Malah, kebanyakan manusia mengalami penghargaan bersyarat; dimana mereka mempersepsikan bahwa orang tua, teman sebaya, atau pasangan mereka mencintai dan menerima mereka hanya apabila mereka dapat memenuhi ekspektasi dan persetujuan dari pihak-pihak tersebut. inkongruensi; inkongruensi antara konsep diri dan pengalaman organismik adalah sumber dari gangguan psikologis. Terkadang kita berperilaku dalam bentuk yang memelihara dan menigkatkan kecenderungan aktualisasi kita, dan pada saat lain, kita dapat bertindak dalam bentuk yang dirancang untuk memelihara dan meningkatkan konsep diri yang berasal dari ekspektasi dan evaluasi orang lain atas diri kita.SIkap defensif; perlndungan atas konsep diri dari kecemasan dan ancaman, dengan penyangkalan atau distorsi dari pengalaman yang tidak konsisten dengan konsep diri. Disorganisasi; dalam kondisi disorganisasi manusia kadang berperilaku secara konsisten dengan pengalaman organismiknya dan kadang sesuai dengan konsep diri yang hancur. Sebagai contoh dari kasus pertama, seorang wanita yang sopan santun, tiba-tiba mulai menggunakan bahasa seksual yang vulgar. Kasus kedua dapat diilustrasikan oleh seorang pria yang, karena konsep dirinya tidak lagi merupakan keseluruhan yang menyatu atau gestalt, mulai berperilaku dalam kebingungan, tidak konsisten, dan tidak dapat diprediksikan. Dalam kedua kasus tersebut, perilaku masih konsisten dengan konsep diri, namun konsep dirinya telah dirusak sehingga perilaku yang terlihat cenderung aneh dan membingungkan (Feist, 2010).
b. Tujuan Terapi: Mendorong serta membimbing klien untuk berfungsi sepenuhnya, menjadi baru dan unik, melihat pengalaman dengan semangat baru, membuatnya terus menjadi muda dalam pemikiran dan semangat, tanpa ada prasangka mengenai bagaimana seharusnya dunia ini, merasakan hubungan yang harmonis dengan orang lain, lebih terintegrasi, peduli pada orang lain, terbuka pada pengalaman, dan hasilnya mereka akan dapat merasakan sesuatu lebih dalam daripada orang lain (Feist, 2010).
c. Peran Terapis: Terapis harus memperlihatkan sikap kongruen kepada klien dan memberikan penerimaan tidak bersyarat serta empati yang akurat. Jika terapisnya kongruen serta dapat mengkomunikasikan penerimaan positif yang tidak bersyarat dan empati yang akurat kepada klien, maka perubaha terapeutik akan terjadi; jika perubahan terapeutik terjadi terjadi, maka klien akan mengalami penerimaan diri yang lebih besar, lebih percaya pada dirinya sendiri, dan lain-lain (Feist, 2010). 

3. Teknik-teknik Terapi 
a. Kongruensi Konselor: Kongruensi terjadi apabila pengalaman organismik seseorang sejalan dengan kesadaran atas pengalaman tersebut, serta dengan kemampuan dan keinginan untuk secara terbuka mengekspresikan perasaan-perasaan tersebut (Rogers dalam Feist, 2010). Untuk menjadi kongruen adalah untuk menjadi nyata atau jujur, untuk menjadi utuh atau terintegrasi, untuk menjadi apa adanya (Feist, 2010). 
b. Penerimaan Positif Tidak bersyarat: Penghargaan positif adalah kebutuhan untuk disukai, diharga, dan diterima oleh orang lain. Saat kebutuhan ini muncul tanpa adanya syarat atau kualifikasi, maka muncullah penerimaan positif yang tidak bersyarat. Terapis mempunyai penerimaan positif yang tidak bersyarat saat mereka "mengalami sikap yang hangat, positif, dan menerima kepada apa yang menjadi kliennya". (Rogers dalam Feist, 2010) Sikap ini tidak bersifat posesif, tidak evaluatif, dan tanpa keraguan (Feist, 2010).
c. Mendengarkan secara empati: Kondisi perlu dan memadai ketiga dalam pertumbuhan psikologis adalah mendengarkan secara empati. Empati hadir saat terapis secara akurat dapat merasakan perasaan dari klien mereka dan dapat mengkomunikasikan persepsi ini, supaya klien mengetahui bahwa orang lain telah memasuki dunia perasaan tanpa prasangka, proyeksi, ataupun evaluasi (Feist, 2010).

Logotherapi

1. Konsep dasar pandangan Viktor Frankl tentang perilaku atau kepribadian
Pandangan Frankl tentang kesehatan psikologis menekankan pentingnya kemauan dan arti. Logoterepi berasal dari kata "logos" yang diambil dari bahasa yunani yang diterjemahkan dalam kata "arti" (meaning). kemudian logoterapi berbicara tentang arti dari eksistensi manusia dan kebutuhan manusia akan arti, dan juga teknik-teknik terapeutis khusus untuk menemukan arti dalam kehidupan. Fradapnkl sangant menentang pendirian-pendirian dalam psikologi dan psikiatri yang memberi ciri kepada kondisi manusia sebagai yang ditentukan oleh insting-insting biologis atau sesuatu kekuatan lain dari luar. Dia mengemukakan bahwa meskipun kita tunduk kepada kondisi-kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan kita, namun kita bebas memilih reaksi kita terhadap kondisi-kondisi ini. Tiang-tiang lain-kemauan akan arti akan kehidupan-adalah kebutuhan kita yang terus menerus mencari bukan diri kita-melainkan suatu arti untuk memberi suatu maksud bagi eksistensialis kita. Semakin kita mampu mengatasi diri kita-memberi diri kita kepada suatu tujuan atau kepada seseorang-semakin kita menjadi manusia sepenuhnya. Ini menjadi kriterium yang terakhir untuk perkembangan kepribadian yang sehat. Kita terbenam dalam seseorang atau suatu hal yang melampaui diri kita. Hanya ada dalam cara ini kita benar-benar menjadi diri kita. Arti yang kita cari memerlukan tanggung jawab pribadi. TIdak ada orang atau sesuatu yang lain-bukan orang tua, partner, atau bangsa-dapat memberi kita pengertian tentang arti dan maksud dalam kehidupan kita. Tanggung jawab kitalah untuk menemukan cara kita sendiri dan tetap bertahan didalamnya segera setelah ditemukan. Seperti yang telah dilakukan Frankl sendiri, kita harus menghadapi kondisi-kondisi eksistensi kita secara bertanggung jawab dan bebas dan menemukan dalam kondisi-kondisi itu suatu maksud. Kehidupan terus-menerus menantang kita dan respon kita tidak dapat dilakukan dengan berbicara atau berkontemplasi, melainkan dengan perbuatan-perbuatan, yang mengungkapkan dengan jelas arti yang kita peroleh dalam kehidupan kita (Schultz, 1991).


2. Unsur-unsur Terapi
a. Hambatan pada kesehatan psikologis: Bagi Frankl kekurangan arti dalam kehidupan merupakan suatu neurosis; dia menyebut kondisi ini "noogenic neurosis". Inilah suatu keadaan yang bercirikan tanpa arti, tanpa maksud, tanpa tujuan, dan hampa. Frankl menulis tentang kawan-kawan setahanannya, "celakalah dia yang tidak lagi melihat arti dalam kehidupannya, tidak lagi melihat tujuan, tidak lagi melihat maksud, dan karena ia tidak ada sesuatu yang dibawa serta dia segera kehilangan". Karena tidak merasa kehidupan yang penuh dan gairah, maka orang semacam ini berbeda dalam kekosongan eksistensialis (eksistential vacuum), suatu kondisi yang menurut keyakinan Frankl adalah lumrah dalam zaman kita yang modern (Schultz, 1991).  
b. Tujuan terapi: Membantu klien yang kehilangan semangat hidup untuk memperoleh kembali makna hidupnya dengan meletakkan penderitanya dalam konteks spiritual dan filosofis yang lebih besar. Individu bertanggung jawab atas eksistensinya dan untuk berupaya memperoleh kehidupan yang bermakna (Davison, 2014). 
C. Peran terapis: Meyakinkan serta membimbing klien bahwa setiap manusia memiliki pilihan-pilihan bebas untuk menentukan kehidupan mereka sendiri dengan perbuatan-perbuatan ke arah yang lebih baik dan penuh makna.  

3. Teknik Terapi
a. intensi paradoxial: Dalam kasus-kasus fobia, teknik paradoxial intention ini berusaha mengubah sikap penderita yang semula serba takut menjadi akrab dengan obyek yang justru ditakutinya. sedangkan pada kasus-kasus obsesi dan kompulsi, yang biasanya penderita menahan dan mengendalikan secara ketat dorongan-dorongannya agar tidak muncul, penderita justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan (bahkan memacu) agar dorongan-dorongannya itu benar-benar mencetus. usaha ini benar-benar sulit dilaksanakan apabila tidak dilakukan secara humoris, dalam arti menimbulkan perasaan humor pada penderita dan memandang keluhannya sendiri secara jenaka atau secara ironis. Pemanfaatan rasa humor dalam terapi berarti membantu penderita untuk memandang gangguan-gangguannya tidak lagi sebagai sesuatu yang mencemaskan, tetapi sebagai sesuatu yang lucu (Bastaman, 1996: 36).
B. Derefleksi logoterapi: mengenal istilah lain yaitu perhatian yang berlebihan (exessive attention), atau hyper refleksi (hyper reflection) yang bisa bersifat patogenis (bisa menjadi penyebab timbulnya penyakit). Seorang wanita datang ke tempat Frankl dengan keluhan frigid. Sejarah masa lalunya menunjukkan bahwa saat kanak-kanak wanita ini mengalami penganiayaan seksual oleh ayahnya sendiri dan juga karena membaca literatur modern tentang psikoanalisis, wanita tersebut terus dibayangi ketakutan, bahwa suatu hari pengalamannya yang traumatis akan membawa akibat. Rasa takut yang diantisipasi ini memicu tumbuhnya keinginan berlebiha untuk menonjolkan kewanitaannya dan perhatian yang berlebihan terhadap dirinya, bukan terhadap pasangannya. Semua alasan ini cukup membuatnya tidak mampu merasakan puncak kenikmatan seksual, karena orgasme sudah dijadikan objek keinginan dan perhatian, bukan sebagai dampak samping dari sebuah dedikasi dan penyerahan spontan kepada pasangannya. Setelah menjalani logoterapi jangka pendek, perhatian dan keinginan berlebihan si pasien yang terkait dengan kemampuannya untuk merasakan orgasme berhasil dihilangkan atau di-derefleksikan. Ketika perhatiannya dialihkan terhadap objek yang layak, yaitu pasangannya, wanita itu berhasil mencapai orgasme secara spontan (Frankl, 2004: 191-192).
C. Bimbingan ruhani: (Medical ministry) Medical ministry merupakan salah satu metode logoterapi yang mula-mula banyak diterapkan dalam dunia medis, khususnya untuk kasus-kasus somatogenik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya prinsip-prinsip medical ministry diamalkan juga oleh profesi lain dalam kasus-kasus tragis non-medis yang tak dapat dihindari lagi. Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan insani untuk mengambil sikap (to take a stand) terhadap keadaan diri sendiri dan keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi (Bastaman, 1996: 40).

Sumber:
Feist, J & Feist,G. J. (2010). Teori kepribadian (7ed). Jakarta: Salemba Humanika.
Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2014). Psikologi abnormal (9ed). Jakarta: Rajawali Pers.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1-2005-bakhtiyarz-565-Bab3_110-2.pdf 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar